
Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.
Keberadaan
Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar
Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan
Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI
Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi.
Dalam
Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang
bernama ”Babading Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan tentang
pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat
tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya
melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana
atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi
sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang
diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu
umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke
Pura Goa Raja.
Pura
Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah
simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai
simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan
unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit
dengan predana sebagai unsur materi menyebabkan terjadinya penciptaan.
Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai
simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut
menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh
gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan
oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena
itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di
Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di
Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses
itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.
Pujawali
atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing
Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia.
Di jeroan (bagian dalam) Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih
Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga
sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada
Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai
Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan
sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.
Asal usul nama Pura Goa Lawah ini dari sebuah goa alam besar yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Dalam bahasa Bali, kata lawah berarti kelelawar. Namun dari sisi agama, keberadaan kelelawar itu tak ada hubungannya dengan apa yang dipuja masyarakat Hindu di Bali. Dalam keyakinan masyarakat Bali, Pura Goa Lawah adalah tempat berstananya Tuhan dalam manivestasi sebagai Dewa Laut. Menurut mitologi yang disuratkan dalam lontar Prekempa, dikisahkan bahwa saat terjadi bencana kekeringan yang dahsyat, Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai naga Basuki. Dewa Iswara menjadi naga Taksaka.
Kemudian, naga Basuki terlentang dengan kepala menghadap ke tenggara. Sebagian kepala naga Basuki tercelup ke laut untuk mengerakkan samudera agar menguap menjadi mendung. Nah, kepala naga Basuki ini kemudian disimbolkan dengan pura Goa Lawah. Sedangkan ekornya yang menjuntai menjelma menjadi gunung dan sisiknya menjelma menjadi hutan yang sangat lebat. Oleh masyarakat Bali, daerah yang dianggap sebagai ujung ekor naga Basuki didirikan Pura Goa Raja (salah satu pura dalam kompleks Pura Besakih). Sebagian masyarakat Bali percaya bahwa pada zaman dulu gua di Pura Goa Raja tembus di Pura Goa Lawah. Namun karena gempa dahsyat pada tahun 1917, goa itu tertutup reruntuhan bumi.
Di luar mitologi tersebut, sumber-sumber kuno mengatakan bahwa Pura Goa Lawah dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI dan dipugar untuk diperluas pada abad ke XV. Salah satu kepercayaan umat Hindu di Bali menyebutkan bahwa arwah orang yang sudah meninggal harus disucikan melalui serangkaian upacara. Nah, ujung dari rangkaian upacara tersebut adalah atma wedana (lanjutan dari upacara Ngaben). Dalam upacara tersebut umat melakukan upacara Nyegara-Gunung sebagai penutup. Mereka akan menyucikan sang arwah di laut (Pura Goa Lawah) lalu menyemayamkannya di gunung (Pura Besakih). Begitu, broer! Dari konsep lain, Pura Besakih (di Gunung Agung) dan Pura Goa Lawah (di tepi laut) merupakan simbol lingga-yoni. Keduanya merupakan unsure yang menyebabkan terjadinya penciptaan alam semesta.
Tepat di mulut goa Pura ini terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai
pemujaan Tuhan Yang Maha Tunggal. Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan
Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari untuk memuja Dewi Sri Hyang
Basuki) dan Gedong Limascatu untuk memuja Dewa Wisnu (Bhatara Tengahing
Segara). Keduanya merupakan simbol kekuasan Tuhan dalam memberi
kemakmuran pada umat manusia.