
Dimana tumpek terdiri dari dua suku kata tum dan pek, tum artinya kesucianya dan pek artinya putus atau terakhir. Jadi tumpek adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara seperti Saniscara Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang.
Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan, keangkara murkaan, oleh sebab itu Siwa pun mengutus Sangyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana, Hyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya.
Kekuatan inilah yang disebut dengan taksu maupun raganya, karena didalam pementasan wayang kulit, seorang Dalang mampu menyampaikan cerita yang penuh dengan filsafat humor, kritik, saran, serta realita kehidupan se hari-hari sehingga para penonton membius alam pikirannya sehingga muncullah kekuatan sugesti dari diri masing-masing. Oleh karena itu kehidupan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak hanya memelihara pisik semata, namun perlu ke seimbangan antara pisik dan mental spiritual yang mana banyak tercermin di dalam pelaksanaan atau perayaan Tumpek Wayang bagi umat Hindhu yang dirayakan setiap enam bulan (dua ratus sepuluh hari ).
Makna dari pada Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Ruwa Bineda, yang sudah barang tentu ada pada sisi ke hidupan manusia . Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.
Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama se hari hari kita mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia,
maka dari itu seorang Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun raganya.
Ada sebuah fenomena menarik di Bali berkenaan tentang kelahiran anak
pada hari yang dianggap keramat yaitu pada waktu wuku Wayang. Fenomena
tersebut diyakini oleh orang
Bali bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut patutlah diupacarai
lukatan besar yang disebut sapuh leger. Bagi anak yang diupacarai lahir
bertepatan dengan waktu itu dimaksudkan supaya ia terhindar dari
gangguan (buruan) Dewa Kala.
Menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin
kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku
Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut,
apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada wuku Wayang, demi
keselamatan anaknya itu, semeton Bali berusaha mengupacarainya dengan
didahului mementaskan Wayang Sapuh Leger berikut aparatusnya
dipersiapkan jauh lebih banyak (berat) dari perlengkapan sesajen jenis
wayang lainnya.
Menurut sistem perhitungan wuku, satu siklus lamanya 210 hari, karena
tiap wuku lamanya 7 hari (Saptawara) dikalikan banyaknya wuku yang
berjumlah 30 jenis. Satu bulan wuku lamanya 35 hari, dan setiap akhir
bulan wuku itu disebut tumpek. Sehingga ada 6 jenis tumpek yaitu Tumpek
Landep, Tumpek Pengarah, Tumpek Krulut, Tumpek Kuningan, Tumpek Kandang,
dan Tumpek Wayang. Perhitungan Saptawara kemudian dikombinasikan pula
dengan Pancawara (lima hari) dan setiap tumpek adalah jatuh pada Kliwon.
Makanya, Tumpek Kliwon dirayakan secara besar di seluruh Bali, seperti
Tumpek Kliwon Kuningan yang merupakan rentetan hari raya Galungan, dan
diakhiri dengan Tumpek Kliwon Wayang.
Tiap anak yang lahir pada Tumpek Wayang, terutama pada Saniscara
Kliwon Tumpek Wayang akan diadakan pergelaran Wayang Sapuh Leger.
Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena
merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali
adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan
kala. Secara mitologis wuku Wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang
tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa
bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak
wajar antara Batara Siwa dan istrinya, Dewi Uma. Mereka melakukan tidak
pada tempatnya yang disebut kama salah.
Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa
setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang
khusus dengan upacara sapuh leger serta menggelar wayang. Pertunjukan
wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat
dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini
dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan
lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh
pendukungnya.
Hipotesis yang menguatkan tentang latar belakang upacara nyapuh leger
dengan media wayang kulit pada Tumpek Wayang adalah data sastra dalam
naskah lontar. Salah satunya lontar Kala Purana berbunyi: ”… Muwah
binuru sang Pancakumara; katekang ratri masa ning tengah wengi. Hana
dalang angwayang, nemoning tumpek wayang, sang anama Mpu Leger. Sampun
angrepakena wayang, saha juru redep/ gender/nya, wus pada tinabeh, merdu
swaranya, manis arum….”.
Artinya, setelah dikejar sang Pancakumara oleh Dewa Kala, sampai
menjelang tengah malam ada seorang pria/dalang bernama Mpu Leger
mempertunjukkan wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah menghadap di
depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu
dan nyaring….
Gelar Wayang Sapuh Leger pada saat Tumpek Wayang bersifat religius,
magis, dan spiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis,
kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbol-simbol yang
bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali.
Simbol-simbol tersebut terungkap baik lewat lakon, sajian artistik,
fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan. Sedangkan maknanya
mengendap dan menjadikan sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai
pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali. Dalam konteks ritual, Wayang
Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian (furikasi) bagi anak/orang yang
lahir pada hari yang oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada wuku
Wayang, sehingga ia berfungsi sebagai pengukuhan atau pengesahan dari
bentuk ritual keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat
Bali. Karena salah satu perwujudan dari sistem religi mempunyai fungsi
sosial untuk mengintensifkan solidaritas komunitasnya.
Tumpek Wayang juga bermakna ”hari kesenian” karena hari itu secara
ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang,
barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual
tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering
disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung
berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua
eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
Tumpek Wayang dan drama ritual wayang diamati dari aspek filosofinya,
berorientasi temporal, spasial dan spiritual. Secara temporal
pertunjukan Wayang Sapuh Leger diselenggarakan pada saat-saat tertentu
yaitu pada Tumpek Wayang, sehingga mitologi sapuh leger mengharuskan
masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa dilarang bepergian pada tengai
tepet (tengah hari), sandyakala (sore hari), dan tengah lemeng (tengah
malam). Oleh karena diyakini waktu-waktu tersebut adalah waktu transisi
yang sering mengancam keamanan seseorang saat melakukan perjalanan.
Tumpek Wayang itu sendiri merupakan tumpukan dari waktu-waktu
transisi dan hari itu jatuh pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon, Wayang.
Saniscara merupakan hari terakhir dalam perhitungan Saptawara; Kajeng
adalah hari terakhir dalam perhitungan Triwara; dan Kliwon merupakan
hari terakhir dalam perhitungan Pancawara. Sedangkan Tumpek Wayang
adalah tumpek terakhir dari urutan enam tumpek yang ada dalam siklus
kalender pawukon Bali. Dengan demikian dapat disimpulkan, Tumpek Wayang
menjadi hari yang penuh dengan waktu-waktu peralihan, dan oleh karenanya
anak-anak yang lahir pada saat ini ditakdirkan menderita karena
mengalami gangguan emosi dan menyusahkan orang lain.
Untuk melawan akibat keadaan yang tidak menguntungkan itu, orang Bali
melakukan upacara ”penebusan dosa khusus” yang dinamakan lukatan sapuh
leger, dengan harapan Hyang Widhi akan menganugerahkan nasib baik pada
anak itu dan menjamin bahwa hari ”lahir yang tidak baik” itu tidak akan
berpengaruh buruk pada perkembangan selanjutnya.
Kata ”kala” secara etimologi berarti waktu, ketika, saat, zaman. Jadi
Batara Kala artinya dewa waktu atau penguasa waktu. Dari asal-usul
etimologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mitos sapuh leger mengandung
ajaran, petunjuk, dan pesan yang berdimensi temporal, yakni
hendaknyalah orang dapat menguasai waktunya (sendiri) dan tidak
membuang-buang waktu untuk perbuatan yang tak ada manfaatnya bagi diri
sendiri, keluarga maupun masyarakat luas. Mengatur waktu dengan
sebaik-baiknya, niscaya akan besar sekali mengaruhnya bagi keselamatan
dan kesejahteraan. Amanat yang terkandung dalamnya adalah bersifat
korektif berupa peringatan kepada umat manusia untuk menghargai waktu
(kala), dan mewaspadai pertemuan ”transisi” dua kutub, akibatnya membawa
pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif apabila dua komunitas
terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna, komunikasi akan
berjalan baik. Apabila sebaliknya, akan terjadi miskomunikasi yang bisa
berdampak negatif.