PURA Tanah Lot merupakan salah satu objek wisata terbaik di
Bali. Pura Tanah Lot memiliki keunikan karena berdiri di pinggir laut.
Beberapa mitos dan pantangan diyakini masyarakat sekitar seputar tempat
peribadatan ini. Salah satu pantangan adalah jangan membawa kekasih Anda ke Pura Tanah
Lot. Tidak jelas bagaimana asal-muasal mitos ini menyebar. Namun bagi
masyarakat Bali, pantangan ini diyakini dengan teguh. Masyarakat Bali percaya dengan mitos bahwa jika datang ke Pura Tanah
Lot bersama pacar, maka hubungan diyakini tak akan bertahan lama.
Hubungan yang dijalani bersama pacar akan merenggang hingga akhirnya
putus. Namun, mitos tersebut tidak berlaku bagi yang sudah berkeluarga.
Silakan Anda memilih, boleh percaya, boleh juga tidak. Wanita yang sedang hamil dan sedang haid juga dilarang naik ke Pura
Tanah Lot. Wanita yang sedang haid dianggap sedang kotor sehingga
dilarang melakukan ritual keagamaan. Menurut cerita, pernah ada seorang
wanita yang sedang haid hendak berjalan di jembatang penghubung tebing
menuju Pura Tanah Lot. Namun, tiba-tiba saja jembatan roboh. Karena
itulah, kini sudah tak ada lagi jembatan yang menghubungkan tebing
menuju Pura Tanah Lot. Lalu, di Pura Tanah Lot juga terdapat air suci, tepatnya di bawah
pura. Air suci ini diyakini bisa mendatangkan rezeki bagi yang
meminumnya. Sementara, di seberang Pura Tanah Lot terdapat gua tempat mendekamnya
ular yang sangat disucikan masyarakat Bali. Ular ini sangat besar dan
berdiam diri di sebuah lubang yang ada di gua. Para wisatawan pun bisa
melihat langsung atau memegang langsung ular ini. Untuk memegang ular ini, para wisatawan dikenai biaya sukarela untuk
perawatan. Masyarakat Bali juga percaya, ular suci ini sering
berpindah-pindah ke pura yang ada di seberangnya. Biasanya, ular suci
pergi ke Pura Tanah Lot di malam hari untuk menjaga pura. Tidak sembarang orang bisa naik ke atas Pura Tanah Lot. Hanya pada
ritual-ritual tertentu orang boleh naik ke pura. Kalaupun tidak ada
ritual atau upacara, harus naik atas seizin pemangku adat.
Menurut legenda, pura ini dibangun
oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan
kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan
membangun Sad Kahyangan tersebut
pada abad ke-16. Sejarah pembangunan pura ini erat sekali
hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha di Pulau Bali. Di tempat ini
Danghyang Nirartha pernah menginap satu malam, dalam perjalanannya menuju
Badung. Pada saat itu penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri
terhadap beliau karena para pengikutnya mulai meninggalkannya dan mengikuti
Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang Nirartha untuk
meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau
dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah
laut) dan membangun pura disana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular
penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini
termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan,
warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular
cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa Beraben 'akhirnya' menjadi
pengikut Danghyang Nirartha. Pura Kahyangan ini lebih dikenal dengan nama
“Pura Tanah Lot” sebagai salah satu penyungsungan jagad. Tentang keindahan di
sekitar tempat suci ini sangat terkenal di seluruh nusantara, malahan tidak
mustahil sampai ke seluruh dunia.
Tempat ini merupakan salah satu objek wisata di
pulau Bali yang semakin tahun jumlah kunjungannya semakin meningkat. Mereka
yang berkunjung ke pura atau kahyangan ini, bukan saja wisatawan domestik namun
wisatawan dari luar negeri pun sangat ramai.
Bagaimana sejarah perjalanan Danghyang Nirartha ?
sampai ke daerah Tabanan tepatnya di Pura Tanah Lot, dapat disarikan sebagai
berikut :
Pada waktu Danghyang Nirartha datang kembali ke
pura Rambut Siwi di dalam perjalanan beliau keliling pulau Bali, dahulu tatkala
beliau baru tiba di Bali dari Blambangan sekitar tahun 1489 masehi, beliau
pernah singgah di tempat ini.
Setelah berada di pura Rambut Siwi kemudian
beliau melanjutkan perjalanannya menuju alas Purwa (Timur) sebelum berangkat
pagi harinya beliau mengadakan pemujaan kepada Sanghyang Sùrya (Sùrya Sewana).
Sesudah menyiratkan tìrtha kepada orang-orang yang ikut melakukan
persembahyangan lalu beliau keluar dari pura dan berjalan menuju ke arah timur.
Perjalanan beliau menyusuri pantai selatan pulau Bali bersama beberapa
pengikutnya yang bhakti kepada beliau.
Dalam perjalanan Danghyang Nirartha dapat
menyaksikan keindahan alam ombak laut selatan. Beliau sangat kagum atas
kebesaran Sang Hyang Widhi yang sudah menciptakan alam yang sangat indah yang
dapat memberikan kehidupan bagi manusia. Sebagaimana biasanya Danghyang
Nirartha dalam setiap perjalanan selalu membawa lontar dan pengerupak (pisau
raut) untuk menulis sesuatu yang dianggap penting baik yang dilihat maupun yang
dirasakan kemudian disusun dalam bentuk kakawin.
Karena asyiknya beliau menyaksikan keindahan alam
tidak terasa sudah sampai pada suatu tempat yang mana tempat ini terdapat
sebuah pulau kecil yang terdiri dari tanah parangan (tanah keras). Disinilah
akhirnya beliau beristirahat.
Tidak lama berselang maka berdatanganlah para nelayan
menghadap beliau sambil membawa persembahan. Setelah sore hari para nelayan
mohon kepada Danghyang Nirartha agar beliau mau menginap di pondoknya
masing-masing, namun secara halus beliau menolak karena beliau lebih senang
bermalam di pulau kecil ini.Pada malam harinya beliau memberikan
ajaran-ajaran agama, susila, ajaran kebajikan lainnya. Yang datang menghadap ke
sana.
Tatkala itu Danghyang Nirartha menasehatkan
kepada orang-orang agar membangun tempat suci di sana karena menurut pandangan
beliau dan getaran bathin, serta petunjuk gaib bahwa tempat itu sangat baik
untuk memuja Sang Hyang Widhi. Setelah beliau meninggalkan tempat itu maka
orang-orang yang mendapat petuah beliau segera membangun tempat suci yang kini
dikenal dengan nama Pura Tanah Lot.